Dunia peradilan kita
tampak begitu tak bermoral. Para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim)
seolah tidak punya rasa malu. Lembaga yudikatif, yang diagungkan sebagai salah
satu pilar demokrasi, lebih menunjukkan diri sebagai hamba dari para pemilik
uang dan kuasa. Keluhan dan kritik masyarakat yang bertubi-tubi dan terus
dipekikkan hingga hari ini tak juga digubris. Dunia hukum pun menjadi
tak
ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani rakyat.
Fakta bahwa, sejak
Orde Baru, hukum kita lumpuh di hadapan kasus-kasus yang melibatkan jumlah uang
sangat besar, para juragan besar, dan para petinggi negara adalah kenyataan
pahit yang hingga kini menggelapkan langit keadilan. Harapan masyarakat,
khususnya kaum muslimin, yang mendambakan proses penegakan hukum seperti pada
zaman Khalifah Abubakar, Umar bin Khattab, atau Umar bin Abdul Aziz, masih
terbenam jauh di alam mimpi. Sebab, jangankan ayat-ayat dalam kitab suci
Al-Quran, ayat-ayat dalam kitab-kitab hukum pidana dan perdata pun mereka
telikung maknanya dan mereka manipulasikan penggunaannya.
Alih-alih memberi rasa
keadilan kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan yang
berlangsung justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta membunuh
harapan terakhir mereka. Berkali-kali kita menyaksikan betapa supremasi hukum
ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus remeh-temeh yang
melibatkan wong cilik melarat tanpa daya.
Pada Oktober 2009,
kita dikejutkan oleh tragedi Nenek Minah, 55 tahun, yang diseret ke depan meja
hijau di Banyumas, hanya karena mengambil tiga buah kakao seberat 3 kilogram
seharga Rp 30 ribu. Ia diancam hukuman 6 bulan penjara, dan divonis hukuman 3
bulan percobaan. Pada November 2009, empat bersaudara ditahan polisi di
Purwokerto karena dituduh mencuri 1,5 kg kapuk seharga Rp 6.000. Mereka diancam
hukuman penjara maksimal 7 tahun. Pada Oktober 2010, Nenek Rasminah diadili
gara-gara dituduh oleh majikannya mencuri enam buah piring dan bahan sup buntut.
Ia sempat meringkuk di dalam bui, dan divonis bebas oleh pengadilan di
Tangerang.
Pada hari-hari
terakhir ini, kita pun terenyak menyaksikan anak di bawah umur, AAL, 15 tahun,
diinterogasi dan dipukul polisi serta diseret ke pengadilan di Palu gara-gara
dituduh mencuri sandal jepit milik dua anggota Kepolisian Daerah Sulawesi
Tengah. AAL diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara. Masyarakat pun bereaksi
dengan menggalang pengumpulan ribuan pasang sandal jepit untuk dikirim kepada
Kepala Kepolisian RI, sebagai ungkapan solidaritas dan rasa marah. Aksi ini
mengingatkan kita pada gerakan pengumpulan sejuta koin bagi Prita yang diadili
di Tangerang dan sempat dipenjarakan secara keji dalam kasus pencemaran nama
baik, Juni 2011.
Kasus pencurian sandal
jepit oleh AAL itu juga mengingatkan kita pada tragedi yang menimpa Hamdani, 25
tahun, mantan buruh pabrik sandal yang harus mendekam di balik terali besi
Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang, hanya gara-gara pinjam-pakai sandal
jepit bolong apkiran di gudang pabrik untuk berwudu dan salat. Oleh
perusahaannya, buruh aktivis itu dikenai tuduhan pencurian. Pengadilan
menghukumnya 3 bulan kurungan pada Januari 2002. Kisah tentang Hamdani ini
telah disinetronkan oleh Dedi Setiadi, Sandal Bolong untuk Hamdani, dan menjadi film televisi terbaik dalam Festival Film
Indonesia 2004, yang mengukuhkan Dedi Setiadi sebagai sutradara terbaik, serta
pemeran Hamdani, Epi Kusnandar, sebagai aktor terbaik.
Semangat para penegak
hukum dalam mengadili kasus-kasus kelas "sandal jepit" tersebut
sungguh mencengangkan sekaligus melengkapi tragedi dunia hukum di republik ini.
Sebab, pada saat yang sama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Agung
ramai-ramai membebaskan puluhan tersangka koruptor dengan dalih tidak terbukti
menimbulkan kerugian negara. Sementara itu, beberapa kasus korupsi yang tengah
diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berputar-putar atau jalan di
tempat.
Maka, tidaklah aneh
jika masyarakat tak lagi percaya bahwa lembaga yudikatif di sini bertujuan
menegakkan keadilan, serta memperlakukan setiap orang sama di depan hukum,
tanpa pandang bulu. Sebab, fakta-fakta yang muncul membuktikan hal-hal yang
sebaliknya.
Dunia hukum kita
bagaikan sebuah gua panjang menuju lembah kegelapan. Siapa pun, terutama rakyat
jelata, yang memasukinya akan kehabisan oksigen dan energi hidupnya tanpa punya
harapan bisa melihat setitik cahaya di ujung terowongan. Puncak dari ironi ini
adalah para manusia pencari keadilan itu justru dikalahkan oleh sandal jepit
dan tetek-bengek yang tak penting!
Dunia hukum kita tetap
absurd, tanpa ada pintu masuk bagi setiap orang yang hendak mencari keadilan di
dunia, seperti yang digambarkan secara tragis dalam cerita mini Nobelis Franz
Kafka (1883-1924), Before the Law (1914). Itu adalah cerita singkat yang paling
menohok dunia hukum, dengan satu pertanyaan pesimistis: mungkinkah manusia bisa
menegakkan keadilan di muka bumi?
Dalam Islam, agama
yang merupakan rahmat bagi alam semesta, sesungguhnya tidak ada lagi yang patut
dipertanyakan. Sejumlah ayat dalam Al-Quran, misalnya, Al-Baqarah 143,
menegaskan: "Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." Juga An-Nissa 135:
"Wahai, orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu, bapak, dan kaum kerabatmu."
Dalam kalimat filsuf
Inggris, Francis Bacon (1561-1626), "Demi keadilan, manusia adalah Tuhan
bagi manusia, dan bukan serigala." Artinya, pintu hukum bagi tokoh lelaki
dalam cerita Kafka tersebut seharusnya selalu terbuka dan bisa dimasuki oleh
siapa saja, kapan saja, selamanya, demi Allah yang Maha Adil, bukan demi sandal
jepit yang remeh-temeh!
Ribuan pasang sandal
jepit yang terkumpul dalam aksi solidaritas bagi AAL seharusnya menjadi
penampar terakhir muka para petugas hukum di sini. Jika tidak, itulah gambaran
paling tepat bagi harkat dan derajat mereka: kasut-kasut butut yang dibuang
para pemiliknya dengan penuh amarah.
Harrah's Cherokee Casino & Hotel
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino & 넷마블바카라환전 Hotel is located in Cherokee, 쪽박 걸 North 영앤 리치 먹튀 Carolina and is 바카라 사이트 open daily 24 hours. The 개집왕 casino features over 2,300 slot machines and over 1,300 table